Hai semua! 🙌 Di sesi ini, aku mau berbagi cerita tentang bagaimana tim kami di SimpliDOTS mengimplementasikan AI di tempat kerja.
Perjalanannya tentu nggak selalu mulus, terutama di tahap awal. Banyak teman-teman developer dan engineer yang merasa khawatir — ada yang takut AI bakal menggantikan peran mereka , dan ada juga yang ragu karena pengalaman sebelumnya dengan ChatGPT yang hasilnya kurang akurat untuk coding. 😅
Tapi, seiring waktu, AI justru membawa perubahan positif dalam cara kami bekerja, termasuk dalam proses rekrutmen dan evaluasi probation.
Aku juga bakal cerita gimana kami berhasil meyakinkan teman-teman engineer yang awalnya ragu, sampai akhirnya mereka jadi pengguna aktif AI dalam proses development. 😊
Harapannya, sharing ini bisa membantu teman-teman developer yang masih ragu terhadap AI atau merasa khawatir bahwa AI akan menggantikan perannya. Semoga juga bisa jadi insight buat teman-teman yang baru mulai karir sebagai developer atau masih kuliah di jurusan IT, biar nggak perlu khawatir apakah dunia IT masih relevan di tengah perkembangan AI yang pesat. 🚀
Selain itu, semoga pengalaman ini juga bermanfaat buat teman-teman leader atau manajer yang sedang merencanakan implementasi AI di tempat kerja. Aku share cerita kami ini, siapa tahu bisa jadi referensi atau inspirasi dalam perjalanan kalian. 😉
🚀 Awal Mula: “Yuk, Coba AI!”
Jadi ceritanya, sekitar awal tahun lalu, manajemen kami mengeluarkan himbauan ke semua divisi: “ Mulai adopsi AI dalam proses internal kita, yuk!” 🎉 Tujuannya? Tentu saja untuk memanfaatkan potensi besar AI yang diproyeksikan bakal memberikan manfaat signifikan di masa depan. 🚀
Setiap manajer atau lead diminta menyusun rencana implementasi , termasuk perencanaan anggaran tiap kuartal dan area proses internal mana yang bisa ditingkatkan dengan bantuan AI. Fokus awalnya diarahkan ke internal perusahaan dulu sebelum AI diterapkan ke eksternal atau produk kami yang digunakan oleh user, yaitu distributor dan principal.
Sebagai konteks, aku saat ini bekerja di SimpliDOTS sebagai Head of Engineering. SimpliDOTS adalah salah satu startup SaaS yang berbasis di Medan, menyediakan aplikasi yang mendukung operasional distributor dan principal. 📦
Sebagai perusahaan teknologi, kami tentu dituntut untuk kreatif dan up-to-date dengan teknologi terbaru. Selain meningkatkan pengalaman pengguna, kami juga berfokus pada pengoptimalan proses internal agar lebih efisien dan efektif dengan bantuan AI. 🤖
🛠️ Tantangan Awal: Skeptis & Takut Kehilangan Pekerjaan
Tantangan mulai muncul ketika saya pertama kali mengajak semua engineer berdiskusi soal rencana implementasi AI. Di SimpliDOTS, setiap Jumat sore pukul 4 hingga 6, kami biasanya mengadakan diskusi santai/sharing dengan tim engineering. Topiknya beragam, mulai dari sharing teknologi, hobi seperti memilih ikan hias 🐠, tips olahraga 🏃, hingga pembahasan serius lainnya. Sesi ini sering menjadi momen brainstorming yang santai tapi produktif. 😊
Di salah satu sesi tersebut, saya mulai memperkenalkan rencana implementasi AI, khususnya untuk mendukung proses development seperti coding dan code review. Saya mengajak setiap anggota tim — baik dari mobile developer, QA, frontend, maupun backend — untuk mulai mengeksplorasi tools atau teknologi berbasis AI yang dapat membantu mereka bekerja lebih efektif dan efisien. Saya juga membuka diskusi untuk menerima saran atau ide dari mereka, termasuk rekomendasi tools berbayar yang mungkin layak dipertimbangkan. 💡
Seperti biasa, saya memperhatikan reaksi mereka. Beberapa terlihat optimis 😊, sementara yang lain ragu-ragu 🤔. Salah satu tantangan pertama yang muncul adalah skeptisisme. Ada beberapa engineer yang sebelumnya pernah menggunakan ChatGPT untuk coding, tetapi merasa hasilnya tidak akurat. Mereka menganggap AI ini sekadar hype marketing saja. Saya mencoba menjelaskan bahwa hasil AI seperti ChatGPT sangat bergantung pada konteks dan teknik prompting yang digunakan. Jika input kurang tepat, output -nya juga pasti akan kurang sesuai. Sedangkan kalau pakai GitHub Copilot dia dapat context code -nya.
Tantangan kedua adalah kekhawatiran terkait AI yang dianggap bisa menggantikan pekerjaan mereka. Pada saat itu, banyak berita tentang AI yang mampu melakukan coding secara mandiri, dan beberapa engineer merasa cemas bahwa AI mungkin akan menggantikan peran mereka. Saya masih ingat bagaimana saya menjelaskan filosofi Co-pilot. AI bukan dirancang untuk menggantikan kita, tetapi menjadi asisten atau partner dalam proses coding — mirip dengan pairing atau code review. Keputusan akhir tetap ada di tangan kita sebagai developer. 👨💻
Namun, salah satu anggota tim memberikan komentar yang cukup menggelitik :
“Iya sih, Bang. Sekarang namanya Co-pilot, tapi siapa yang tahu, mungkin beberapa bulan atau tahun lagi dia jadi pilot, dan kita ditendang dari pesawat.” 😂
Komentar itu awalnya membuat suasana menjadi lucu, tapi sekaligus menantang. Saya merasa perlu terus meyakinkan mereka bahwa AI bukan ancaman , melainkan alat yang bisa memperkuat kemampuan kita jika digunakan dengan tepat. 💪
Pada saat itu, kalau saya lihat, hanya sekitar 20% dari tim yang optimis dan tertarik untuk mengeksplorasi AI. Bahkan, mungkin lebih sedikit — sekitar 15–20% saja , dan itu pun beberapa masih terlihat ragu-ragu. Saya masih ingat bagaimana respon tersebut cukup membuat saya syok 😲. Awalnya, saya begitu bersemangat untuk mengimplementasikan AI, tetapi setelah melihat reaksi mereka, semangat saya sempat menurun. Saya mulai bertanya dalam hati, “ Lho kok tim saya seperti ini? Kok mereka nggak mau maju? Apakah mereka benar-benar begitu khawatirnya terhadap AI? ”
🎯Langkah Awal Implementasi AI: Mulai dari yang Mau Dulu
Nah, di tahap awal, saya fokus pada kelompok kecil yang sudah menunjukkan ketertarikan terhadap AI — sekitar 20% dari tim tadi. 🤓 Untuk mereka, saya langsung memberikan akses ke GitHub Copilot dengan berlangganan agar mereka bisa mulai menggunakan AI dalam coding. 🚀
Sementara itu, bagi teman-teman yang masih ragu, saya tidak memaksa. Saya memberikan mereka waktu untuk berpikir dan mengeksplorasi. Karena mereka belum yakin, saya tidak langsung memberikan akses ke GitHub Copilot agar biaya langganan tidak terbuang sia-sia. Sebagai alternatif, saya menyarankan mereka mencoba beberapa tools gratis terlebih dahulu, seperti Codeium, Gemini di Android Studio, atau Gemini di IDX. 😉
Mengubah Mindset Melalui Influencer Internal
Langkah berikutnya adalah kerjasama dengan anggota tim yang sudah menggunakan AI untuk menjadi influencer internal. Saya ingin mereka menjadi penggerak yang bisa mengubah sudut pandang teman-teman lainnya.
Setiap sesi Jumat sore , kami menyisipkan sharing session tentang tips dan trik penggunaan AI. Mereka berbagi pengalaman tentang bagaimana AI memudahkan pekerjaan mereka, seperti:
- Otomatisasi Dokumentasi : AI membantu membuat README atau dokumentasi proyek dengan mudah. 📝
- Diagram Otomatis : Menggunakan PlantUML atau Mermaid Diagram yang dihasilkan langsung dari user story PM, tanpa perlu menggambar manual. 🎨
- Testing Otomatis : QA menunjukkan bagaimana mereka dapat mengonversi user story menjadi skenario BDD (Behavior-Driven Development) dalam format Gherkin secara otomatis. 🧪
Apakah semuanya langsung berubah? Tidak. Ini bukan sinetron dengan akhir yang bahagia dalam semalam. 😅 Tapi, melalui langkah-langkah kecil ini, saya berusaha terus mengedukasi dan memperlihatkan manfaat nyata dari AI.
Code Review dengan AI
Cara lain untuk mempengaruhi tim adalah melalui code review. Dalam sesi review, kami sambil menggunakan AI untuk memberikan rekomendasi, seperti:
- Penamaan Variabel dan Fungsi : Rekomendasi nama yang lebih deskriptif dan bermakna. 📛
- Peningkatan Readability : Tips untuk membuat kode lebih mudah dibaca dan dipahami. 👀
- Dokumentasi Otomatis : Saran untuk mendokumentasikan kode secara otomatis. 📚
Nah, biasanya hasil feedback ini dari AI, kita sambil melampirkan screenshot juga di pull request, siapa tahu tim member lain tergerak hatinya untuk pakai. 😁 Ini cara sederhana untuk menumbuhkan penasaran mereka.
Mengatasi Masalah / Bug Fixing dengan AI
Selain itu, kami juga memanfaatkan AI untuk membantu mereka yang mengalami kesulitan atau bugs , terutama teman-teman yang belum pakai AI. Contohnya:
- Mengoptimalkan Query Database : Jika ada query yang menyebabkan lonjakan beban (spike) pada database, AI bisa memberikan solusi cepat untuk optimisasi query. ⚡
- Error Debugging : Ketika mereka mengalami error yang sulit dipecahkan dalam satu hari, AI seringkali bisa memberikan solusi hanya dalam beberapa menit. ⏱️
Hasil solusi ini juga kami kirim dalam bentuk screenshot dari AI untuk menunjukkan kecepatan dan efisiensinya. Tujuannya, pelan-pelan membuat mereka penasaran terhadap AI. 😉
Otomasi Proses Berulang
Kami juga memperlihatkan bagaimana AI bisa mempercepat tugas-tugas yang berulang , seperti:
- Pembuatan Data Dummy : Saat pertama kali mengembangkan backend, biasanya mereka membutuhkan waktu lama untuk membuat data mock. Dengan AI, mereka hanya perlu memberikan model, dan AI langsung menyediakan data yang diperlukan. Ini biasanya kita sering nge-spill di Slack, seperti, “Wow, pakai AI gak perlu ribet!” 😃
- Otomasi Testing : QA yang sebelumnya membuat skrip manual di Postman kini bisa menggunakan Postbot untuk secara otomatis menghasilkan automation testing berdasarkan respons API. 🤖
Hal-hal kecil ini kita ulang terus menerus untuk menginfluence teman-teman dev lainnya agar tertarik explore dan pakai AI.
Perlahan Tapi Pasti
Melalui langkah-langkah ini, perlahan tapi pasti , tim kami mulai melihat AI sebagai alat yang bukan hanya membantu, tetapi juga meningkatkan produktivitas mereka secara signifikan. 💯
AI as a Partner 🤝
Sekarang hampir semua engineer di tim kami sudah menggunakan AI dalam proses development. Yang menarik, beberapa teman-teman yang dulu ragu malah sekarang lebih aktif mencoba fitur-fitur baru dibandingkan saya sendiri dan mengikuti perkembangannya. Contohnya, waktu GitHub Copilot merilis fitur yang mendukung model-model seperti Claude atau OpenAI o1. Fitur ini masih dalam tahap preview, tapi mereka langsung antusias minta diaktifkan fiturnya, karena mereka nggak sabar ingin explore model Claude. 😄
AI Jadi Teman Diskusi yang Nggak Pernah Capek dan Bosan 💬
AI juga jadi semacam teman diskusi untuk mereka yang sering bekerja sendiri di tim. Saya ingat salah satu mobile developer kami yang sempat curhat,
“Bang, di mobile karena saya sendiri saja, nggak ada teman untuk brainstorming.”
Setelah pakai AI, dia bilang jadi lumayan terbantu. Memang AI nggak bisa menggantikan diskusi langsung dengan manusia, tapi bisa kasih sudut pandang baru , ide alternatif atau sekadar jadi tempat bertanya tanpa perlu sungkan. Dan yang paling penting, AI nggak pernah capek atau bosan ditanya. 😁 Jadi nggak perlu harus ngomong, “Permisi bang, kita bisa discuss sebentar nggak?” Atau dia nggak marah ketika kita bilang, “Gimana-gimana tadi, saya nggak fokus, bisa ulangi lagi nggak penjelasannya?”
Selain itu, AI bisa kita atur lagi. Contohnya, “ Tolong jelaskan simpel dan pendek saja, jangan terlalu panjang dan bertele-tele. ”
Nah, kalau ke teman kita, kita buat seperti ini, pasti dalam hatinya, “Ini orang sudah minta bantu, ngatur-ngatur lagi.” 😅
Knowledge Base dengan RAG 📚
Selain membantu dalam coding, AI juga kami manfaatkan untuk hal-hal yang lebih administratif, seperti tanya jawab prosedur ISO 27001. Biasanya, ada pertanyaan seperti, “ Apakah langkah ini melanggar standar ISO? ” atau “ Bagaimana caranya meminimalkan risiko ini? ” Dengan AI, kami bisa mendapatkan jawaban awal untuk bahan diskusi. AI nggak selalu akurat 100% , tapi cukup membantu memberikan gambaran awal.
Selain itu, ketika tim rilis fitur baru , biasanya harus membuat release notes yang digunakan tim Customer Success Associate atau Marketing. Dengan RAG (Retrieval-Augmented Generation), mereka tinggal unggah release notes-nya, dan AI bisa langsung menjawab pertanyaan seperti, “Fitur baru ini apa keunggulannya untuk user?” atau “Apakah ada hal penting yang perlu disampaikan ke customer?” Ini cukup menghemat waktu dibanding mereka harus membaca dokumen secara manual dan harus meeting lagi ke tim produk dan engineer. ⏱️
Eksplorasi NotebookLM untuk Manajemen Informasi 📝
Kami juga mencoba NotebookLM dari Google. Konsepnya mirip RAG, tapi lebih fleksibel karena bisa menggabungkan berbagai sumber data seperti PDF, link website, sampai catatan rapat. Misalnya, untuk satu fitur, semua dokumen seperti PRD, test case UAT, hingga catatan mingguan tim bisa disimpan di satu tempat. Jadi, kalau ada yang butuh informasi, tinggal tanya ke AI tanpa harus bolak-balik membuka banyak file. 📂
AI untuk Komunikasi & Bahasa Gen Z 🗣️
Dalam hal komunikasi, AI juga lumayan membantu, terutama dalam menyusun email atau dokumen formal dalam bahasa Inggris. Saya contohnya nggak begitu fasih berbahasa Inggris , jadi AI cukup sering jadi teman discuss dalam hal ini. 😅
Dan satu hal lucu, saya juga pakai AI untuk memahami bahasa Gen Z. Tim kami mayoritas Gen Z, dan mereka punya banyak istilah yang kadang bikin saya bingung. Saya sering meminta bantuan AI buat nge-translate maksud mereka. Jadi, selain membantu soal teknis, AI juga jadi teman buat saya beradaptasi dengan cara komunikasi mereka , terutama dalam komunikasi dengan Gen Z plus pakai bahasa Inggris. Ini double punchline! Kenapa double punchline? Karena kedua hal tersebut saya nggak begitu fasih. 🤣
Mengurangi Distraksi 🚫📱
Terakhir, AI membantu mengurangi distraksi dalam pekerjaan. Sebelum ada AI, kalau ada masalah atau bug, kami sering harus bolak-balik antara browser dan code editor untuk mencari solusi di StackOverflow. Sekarang, banyak masalah bisa diselesaikan langsung di editor dengan bantuan AI. Misalnya, AI bisa membantu merekomendasikan cara membuat kode lebih rapi , lebih readable , atau bahkan lebih sesuai standar.
Buat kami, AI bukan hanya alat , tapi partner yang membantu mempercepat pekerjaan , memberikan ide baru , dan — tanpa kami sadari — membuat proses kerja jadi lebih menyenangkan. 🎉
💡Hiring & Onboarding: Fokus ke Attitude, Bukan Cuma Skill
Selain di coding dan manajerial, kehadiran AI juga mengubah cara saya memandang proses hiring dan onboarding new member. Di SimpliDOTS , kami sangat menjunjung tinggi culture fit. Jadi, saat mencari kandidat baru, selain kemampuan teknis, kami juga memastikan mereka bisa beradaptasi dengan budaya kolaborasi dan kerja kami. 🤝
Dulu: Prioritaskan Skill, Sekarang: Seimbang dengan Attitude
Dulu, saya sering memberi prioritas tinggi pada skill. Kalau ada kandidat yang skill-nya luar biasa, tapi attitude-nya kurang, kadang tetap saya loloskan. Alasannya, saya berpikir kemampuan teknis bisa langsung memberikan hasil yang terlihat. Tapi pengalaman mengajarkan hal lain. Kandidat dengan skill tinggi tapi attitude yang kurang baik bisa menjadi tantangan di tim — bukan hanya sulit diajak kolaborasi, tapi juga bisa menciptakan lingkungan kerja yang tidak nyaman. 😕
Sekarang, saya lebih menyeimbangkan antara skill dan attitude. Kenapa? Karena dengan adanya AI, kemampuan teknis bukan lagi satu-satunya penentu. Banyak pekerjaan teknis yang bisa terbantu, bahkan dipermudah oleh AI. Tapi sikap dan bagaimana seseorang berinteraksi dengan tim — itu yang sulit digantikan. 😊
Pandangan Kandidat Terhadap AI
Dalam wawancara, salah satu pertanyaan yang sering saya ajukan adalah: “ Bagaimana pandangan kamu tentang AI? ” Saya ingin tahu apakah mereka melihat AI sebagai peluang atau ancaman. Kenapa ini penting? Karena di tim kami, AI bukan sekadar alat, tetapi bagian dari proses kerja. 🤖
Salah satu checkpoint selama masa probation adalah memastikan mereka nyaman menggunakan AI dalam proses development atau pekerjaan lainnya. Kalau sejak awal mereka sudah ragu atau melihat AI sebagai ancaman, kemungkinan besar mereka akan kesulitan beradaptasi di tim.
AI Membantu Proses Interview & Onboarding
AI juga membantu kami dalam proses seleksi. Misalnya: Generate Pertanyaan Wawancara : AI bisa merekomendasikan pertanyaan berbasis pengalaman atau hasil tes teknis kandidat. Tapi tentu saja, kami tidak langsung menerima begitu saja. Kami tetap menyesuaikan dan berdiskusi dengan tim terkait relevansi dan fokus pertanyaan tersebut. Kadang-kadang bahkan terjadi perdebatan menarik di antara kami dengan AI tentang mengapa dia merekomendasikan pertanyaan tersebut. 😄
Closing: AI Bukan Ancaman
Jadi, itulah perjalanan kami dalam mengintegrasikan AI ke dalam berbagai aspek di tempat kerja, termasuk dalam proses hiring dan onboarding. AI memang membawa perubahan, tapi tidak semuanya seseram yang dibayangkan. Malah, dengan memanfaatkan teknologi ini, kami jadi lebih kreatif , lebih efisien , dan lebih fokus pada hal-hal yang benar-benar penting — seperti membangun tim yang solid dengan budaya kerja yang positif. 🎯
Semoga cerita ini bisa memberikan gambaran dan motivasi bagi teman-teman yang masih ragu, takut tergantikan, atau justru sedang mencari cara untuk mulai memanfaatkan AI di lingkungan kerja mereka. 😊
PS : Saat ini kami baru sampai pengalaman AI sebagai partner coding. Jadi, tolong jangan ada yang tanya, AI bisa jadi partner hidup nggak? 😄